Dalam Linangan Darah

~
Oleh: Anwar Abdurahman Al Fakir Fillah


بسم الله الرحمن الرحيم


Biarkan aku merana di ujung sepetiga malam ini. Dentingan pecahan dinding rentan hati yang sudah terlalu sakit, menikmati penindasan penguasa di negeri kufar yang mengaku negeri "mayoritas" Islam. Miris, antara haq dan batil bersetubuh menjadi butiran batu debu hina mengundang gundukan-gundukan laknat dari Allah Azawajalla. Mendirikan sholat, zakat juga tak lupa ditunaikan bahkan sahutan suara Al Qur'an mendayu menyelimuti setiap malam dan siang di sudut kota sampai penghujung pelosok desa. Apalah arti lupa dengan apa makna tiada ilah kecuali Allah, tiada dien, tiada sistem hidup yang haq kecuali Islam, tiada sumber hukum yang haq kecuali Al Qur'an dan Assunah.

Pecah sudah kebencian berhamburan dengan segala kekufuran di negeri kufar ini, pupus sudah kebanggaan dan cinta untuk negara yang kufur nikmat Ilahi. Bukan karena seseorang atau lembaga, bukan karena aku miskin atau papah. Tapi derita ketika mata yang perih menatapi mereka yang memperjuangan bukan lagi kebenaran dan sebuah salah tetapi kesenjangan antara mayoritas dan minoritas, tak lebih dari hukum di hutan rimba. Sesaknya nafas trotoar menceritakan rakyat jelata berduka sementara di atas sana "hewan yang terhormat" dan "ulama" (su') bersekongkol menjual agama demi sesuap nasi. Demi hak asasi manusia mengikat liberalisme dan pluralisme. Sesuka hatimu, sesuka hatimu dan akal busukmu saja menentukan haram dan halal, sesuka hatimu dan akal busukmu saja memvonis kafir, sesukamu saja menganggap penyambung lidah nabi dengan teroris demi seonggok receh dan puntungan status pejabat kelas kakap.

Perih sudah goresan pecahan kaca menyentuh hati-hati dengan uraian linagan darah pribumi. Tiada senyum lagi untuk kemungkaran di bumi ambang kehancuran ini.

Menara Uzlah, 10 Dzuhijah 1431 H