'Amal Shalih Sebelum Berjihad
Abu Darda' radliyalLahu 'anhu mengingatkan manusia untuk beramal sholih sebelum berangkat menuju kancah peperangan. Prinsip akumulasi 'amal menjadi jalan hidup sahabat mulia ini. Baginya memasuki kancah pertempuran memperjuangkan dienulLah tanpa tabungan 'amal kebajikan yang dirajut sebelumnya tak hanya akan gagal memperjuangkan tegaknya dien-Nya, bahkan dapat berakibat tidak mampu untuk istiqomah mempertahankan dien bagi dirinya sendiri.
Beliau paham betul bahwa bertempur untuk menegakkan dien-Nya, berarti menjemput musibah ikhtiyariy, memilih jalan penuh tebaran kesulitan, taburan onak dan duri, berteman dengan serakan tulang-belulang dan tengkorak, bukan hamparan karpet merah. Kesulitan itu mulai dari batas paling minim yakni kelelahan di jalan-Nya hingga puncaknya kematian. Diantara dua batas itu terdapat beragam ujian ; luka-luka, kehilangan anggota badan, tertawan musuh dll. Lantaran itu, menerjuninya tanpa bekal sungguh berbahaya. Mari kita dengar seruannya:
Wahai manusia kerjakanlah olehmu 'amal sholih sebelum memasuki kancah peperangan, hanyasanya kamu sekalian bertempur dengan [berbekal] 'amal-'amal kalian. (Fath al-Bariy syarah Shohih Bukhariy, Ibnu Hajar).
Suatu ketika ada seorang yang datang kepada 'AbdulLah bin 'Umar radliyalLahu 'anhuma seraya berkata, ”Aku berniat menjual diriku di jalan Allah dengan berjihad di jalan-Nya hingga aku terbunuh". Maka beliau berkata, "Celaka kamu!, mana syarat [untuk mendapatkannya]?" "Mana firman Allah, ...orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, orang yang memuji-Nya, yang siyahah dan shiyam, yang selalu ruku', yang sujud, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar, menjaga terhadap hudud Allah, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman"[At-Taubah 112].(Mausu'atu ar-Radd 'ala Madzahib al-Fikriyah al-Mu'ashirah, juz 24 hal 140).
Jika berangkat berperang li i'laai kalimatilLah tanpa berbekal akumulasi 'amal yang ditabung sebelumnya saja diperingatkan oleh sahabat Abu Darda', apalagi jika seorang mujahid atau sekelompok mujahid berangkat memperjuangkan dienulLah dengan mengakumulasi perbuatan dosa dan ma'shiyat. Tentu lebih dikhawatirkan kegagalannya. Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنْكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا...
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau)....(Ali 'Imran 155).
Para salaf berpendirian bahwa diantara balasan kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba adalah dimudahkannya hamba tersebut untuk mengerjakan kebaikan berikutnya. Begitu pula sebaliknya, diantara hukuman yang ditimpakan kepada hamba yang berbuat buruk, dijadikan baginya mudah untuk mengerjakan perbuatan buruk berikutnya.
Tanaman 'amal shalih seorang mujahid sebelum berangkat menuju kancah pertempuran akan dipanen olehnya disaat pecah pertempuran yang sesungguhnya. 'Amal shalihnya membantunya untuk tsabat [teguh] di dalam pertempuran, sabar menghadapi denting senjata, desingan peluru, deru pesawat yang memekakkan telinga dan getar bumi akibat jatuhnya bom dan peluru altileri. Membantunya untuk tidak mengeluhkan luka menganga yang merobek perutnya, membuat putus sebagian jari-jarinya, dan membantunya untuk mengingat bahwa sebagian anggota tubuhnya yang putus telah menantinya di jannah.
Hazimah Isyarat Pembuktian Terbalik Kemakshiyatan
Sebaliknya semaian perbuatan ma'shiyatnya kepada Allah, delegitimasi dan cercaannya kepada sesama orang yang beriman menjadi senjata bagi syaithan untuk menggelincirkannya dari jalan Allah. Syarafnya mengendur pada saat sangat dibutuhkan untuk kencang sekuat baja. Qalbunya melemah menghadapi jerit kesakitan, percikan darah dan serpihan tulang, kemudian menjadi gentar dan mundur dari kancah peperangan. Jika bukan karena akumulasi maksiyat kepada Allah maupun perbuatan dosa kepada sesama orang yang beriman, tentu syaithan tidak memiliki celah untuk menggelincirkannya dari jalan Allah. Hal ini merupakan sebuah aksioma. Jika seorang mujahid meninggalkan gelanggang perjuangan, menyerah kepada musuh, meletakkan senjata apalagi menyerahkan dan menunjukkannya kepada musuh disaat kesyahidan hampir menghampirinya, berarti hal ini merupakan pembuktian terbalik atas ma'siyat yang dilakukan sebelumnya. wal-'iyaadzu bilLah.
Jangan dibayangkan bahwa bentuk ma'shiyat tersebut berbuat zina, atau meninggalkan shalat dan shiyam. Ada bentuk-bentuk ma'shiyat lain yang tidak kalah bahayanya. Ma'shiyat qalbiy seperti lebih menyukai kemasyhuran di kalangan manusia dibanding disebut-sebut oleh Allah diantara para malaikatnya, lebih terfokus kepada ghanimah dibandingkan harapan kepada cinta dan keridloan-Nya, menganggap diri yang terbaik dengan melecehkan sesama mujahid, menyepelekan pemenuhan sebab kemenangan pada saat masih memungkinkan untuk menyempurnakannya lantaran menganggapnya sebagai perkara yang tidak terlalu penting, dll.
Allah Kuasakan Ahli Ma'shiyat kepada Syaithan sebagai Hukuman
Jika bukan dengan sebab itu, syaithan tidak akan memiliki jalan untuk menggelincirkan seorang hamba dari jalan Allah. Allah berfirman :
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.(Qs. Al Hijr15: 42).
Allah menguasakan seorang hamba kepada syaithan lantaran perbuatan dosa dan ma'shiyatnya. Karena itu Amirul-Mu'minin 'Umar bin Khaththab lebih mengkhawatirkan merebaknya kema'shiyatan di tengah pasukan Islam dibandingkan jumlah dan perlengkapan pasukan musuh. Sebab tentara Allah ditolong oleh-Nya karena ketaqwaannya, bukan karena kelebihan jumlah dan perlengkapan perangnya. Jika ma'iyyatulLah tidak menyertai mereka, maka pasukan musuh akan memberangus mereka dengan kelebihan jumlah dan perlengkapan perangnya yang jauh lebih komplit.
Memahami Waqi'
Bagian dari perkara yang mesti dipahami oleh seorang mujahid atau sekelompok mujahid pada zaman ini, adalah mengenali kondisi waqi' yang dihadapi dengan pemahaman yang benar. Tidaklah sama medan yang dihadapi oleh sekelompok mujahid di suatu medan dengan kelompok yang lain di medan yang berbeda. Ada yang Allah karuniakan basis wilayah dan dukungan masyarakat dengan segala sarana peersenjataan dan logistik perang yang diperlukan, segala puji bagi Allah. Ada pula yang diberi rizqi dengan kesadaran dan semangat perang membara, tetapi dibatasi oleh Allah rizqi sarana pendukungnya, hanya punya senjata terbatas tanpa basis wilayah dan dukungan masyarakat serta logistik perang yang diperlukan.
Melancarkan jihad di medan yang terbatas seperti yang disifati pada kategori kedua menghajatkan bekal ruhiyah-nafsiyah lebih. Pada yang pertama, jika suatu kelompok mujahidin terpukul mundur dalam suatu medan, mereka masih punya kesempatan mundur melakukan manuver menggabungkan diri dengan kelompok yang lain untuk melanjutkan peperangan. Sedang bagi mujahid yang berperang di medan yang tak memiliki dukungan yang sempurna seperti yang pertama; tak ada basis wilayah, tak ada pasok senjata, amunisi dan logistik yang dijamin kelanjutannya, jalur yang ada mudah diblokade musuh,...perlindungan terakhir mereka adalah senjatanya.
Jika perang telah pecah, tak ada pilihan bagi mereka untuk mundur, mereka harus berperang hingga Allah memenangkan mereka atas musuhnya atau mereka gugur dalam pertempuran. Bagi mereka, istilah mundur harus dihapus dari kamus. Perlindungan paling kuat bagi mereka adalah Allah, kemudian tabungan akumulasi 'amal shalihnya, kemudian senjatanya. Jika mereka menyerahkan senjata itu kepada musuh, atau menunjukkan dimana mereka menyimpan senjatanya, kemudian berharap musuh akan berlaku baik kepada mereka hanya karena mereka sudah tidak menyandang senjata, maka sungguh mereka terjatuh kepada syubuhat syaithan.
Tindakan itu berarti melepaskan diri dari perlindungan yang lebih kuat untuk mencari perlindungan yang lebih lemah. Begitu seorang mujahid atau sekelompok mujahid memutuskan untuk melancarkan perang, maka bagi mereka yang berada pada waqi' yang kedua harus berfikir 'azimah agar tidak terjerembab kedalam hazimah. Allah berfirman:
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. (Al Anfal 8 :16).
Dapatkah dibayangkan sekelompok mujahidin menyandang silah, kemudian mereka meletakkan senjata mereka, menyimpannya, kemudian meminta perlindungan dari saudaranya yang tidak bersenjata untuk menghadapi musuhnya yang bersenjata? Hanya jalan berfikir yang telah diliputi hazimah yang dapat menerima.
Semoga Allah menghindarkan para mujahid di jalan-Nya dari menjadi bahan ejekan musuh-musuh-Nya.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari belitan hutang, dikalahkan oleh musuh dan menjadi tertawaan musuh. [an-Nasa`iy dan dishahihkan al-Hakim].
Shourche: An-Najah[.]Net
Beliau paham betul bahwa bertempur untuk menegakkan dien-Nya, berarti menjemput musibah ikhtiyariy, memilih jalan penuh tebaran kesulitan, taburan onak dan duri, berteman dengan serakan tulang-belulang dan tengkorak, bukan hamparan karpet merah. Kesulitan itu mulai dari batas paling minim yakni kelelahan di jalan-Nya hingga puncaknya kematian. Diantara dua batas itu terdapat beragam ujian ; luka-luka, kehilangan anggota badan, tertawan musuh dll. Lantaran itu, menerjuninya tanpa bekal sungguh berbahaya. Mari kita dengar seruannya:
أيها الناس عمل صالح قبل الغزو• إنما تقاتلون بأعمالكم
Wahai manusia kerjakanlah olehmu 'amal sholih sebelum memasuki kancah peperangan, hanyasanya kamu sekalian bertempur dengan [berbekal] 'amal-'amal kalian. (Fath al-Bariy syarah Shohih Bukhariy, Ibnu Hajar).
Suatu ketika ada seorang yang datang kepada 'AbdulLah bin 'Umar radliyalLahu 'anhuma seraya berkata, ”Aku berniat menjual diriku di jalan Allah dengan berjihad di jalan-Nya hingga aku terbunuh". Maka beliau berkata, "Celaka kamu!, mana syarat [untuk mendapatkannya]?" "Mana firman Allah, ...orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, orang yang memuji-Nya, yang siyahah dan shiyam, yang selalu ruku', yang sujud, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar, menjaga terhadap hudud Allah, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman"[At-Taubah 112].(Mausu'atu ar-Radd 'ala Madzahib al-Fikriyah al-Mu'ashirah, juz 24 hal 140).
Jika berangkat berperang li i'laai kalimatilLah tanpa berbekal akumulasi 'amal yang ditabung sebelumnya saja diperingatkan oleh sahabat Abu Darda', apalagi jika seorang mujahid atau sekelompok mujahid berangkat memperjuangkan dienulLah dengan mengakumulasi perbuatan dosa dan ma'shiyat. Tentu lebih dikhawatirkan kegagalannya. Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنْكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا...
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau)....(Ali 'Imran 155).
Para salaf berpendirian bahwa diantara balasan kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba adalah dimudahkannya hamba tersebut untuk mengerjakan kebaikan berikutnya. Begitu pula sebaliknya, diantara hukuman yang ditimpakan kepada hamba yang berbuat buruk, dijadikan baginya mudah untuk mengerjakan perbuatan buruk berikutnya.
Tanaman 'amal shalih seorang mujahid sebelum berangkat menuju kancah pertempuran akan dipanen olehnya disaat pecah pertempuran yang sesungguhnya. 'Amal shalihnya membantunya untuk tsabat [teguh] di dalam pertempuran, sabar menghadapi denting senjata, desingan peluru, deru pesawat yang memekakkan telinga dan getar bumi akibat jatuhnya bom dan peluru altileri. Membantunya untuk tidak mengeluhkan luka menganga yang merobek perutnya, membuat putus sebagian jari-jarinya, dan membantunya untuk mengingat bahwa sebagian anggota tubuhnya yang putus telah menantinya di jannah.
Hazimah Isyarat Pembuktian Terbalik Kemakshiyatan
Sebaliknya semaian perbuatan ma'shiyatnya kepada Allah, delegitimasi dan cercaannya kepada sesama orang yang beriman menjadi senjata bagi syaithan untuk menggelincirkannya dari jalan Allah. Syarafnya mengendur pada saat sangat dibutuhkan untuk kencang sekuat baja. Qalbunya melemah menghadapi jerit kesakitan, percikan darah dan serpihan tulang, kemudian menjadi gentar dan mundur dari kancah peperangan. Jika bukan karena akumulasi maksiyat kepada Allah maupun perbuatan dosa kepada sesama orang yang beriman, tentu syaithan tidak memiliki celah untuk menggelincirkannya dari jalan Allah. Hal ini merupakan sebuah aksioma. Jika seorang mujahid meninggalkan gelanggang perjuangan, menyerah kepada musuh, meletakkan senjata apalagi menyerahkan dan menunjukkannya kepada musuh disaat kesyahidan hampir menghampirinya, berarti hal ini merupakan pembuktian terbalik atas ma'siyat yang dilakukan sebelumnya. wal-'iyaadzu bilLah.
Jangan dibayangkan bahwa bentuk ma'shiyat tersebut berbuat zina, atau meninggalkan shalat dan shiyam. Ada bentuk-bentuk ma'shiyat lain yang tidak kalah bahayanya. Ma'shiyat qalbiy seperti lebih menyukai kemasyhuran di kalangan manusia dibanding disebut-sebut oleh Allah diantara para malaikatnya, lebih terfokus kepada ghanimah dibandingkan harapan kepada cinta dan keridloan-Nya, menganggap diri yang terbaik dengan melecehkan sesama mujahid, menyepelekan pemenuhan sebab kemenangan pada saat masih memungkinkan untuk menyempurnakannya lantaran menganggapnya sebagai perkara yang tidak terlalu penting, dll.
Allah Kuasakan Ahli Ma'shiyat kepada Syaithan sebagai Hukuman
Jika bukan dengan sebab itu, syaithan tidak akan memiliki jalan untuk menggelincirkan seorang hamba dari jalan Allah. Allah berfirman :
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.(Qs. Al Hijr15: 42).
Allah menguasakan seorang hamba kepada syaithan lantaran perbuatan dosa dan ma'shiyatnya. Karena itu Amirul-Mu'minin 'Umar bin Khaththab lebih mengkhawatirkan merebaknya kema'shiyatan di tengah pasukan Islam dibandingkan jumlah dan perlengkapan pasukan musuh. Sebab tentara Allah ditolong oleh-Nya karena ketaqwaannya, bukan karena kelebihan jumlah dan perlengkapan perangnya. Jika ma'iyyatulLah tidak menyertai mereka, maka pasukan musuh akan memberangus mereka dengan kelebihan jumlah dan perlengkapan perangnya yang jauh lebih komplit.
Memahami Waqi'
Bagian dari perkara yang mesti dipahami oleh seorang mujahid atau sekelompok mujahid pada zaman ini, adalah mengenali kondisi waqi' yang dihadapi dengan pemahaman yang benar. Tidaklah sama medan yang dihadapi oleh sekelompok mujahid di suatu medan dengan kelompok yang lain di medan yang berbeda. Ada yang Allah karuniakan basis wilayah dan dukungan masyarakat dengan segala sarana peersenjataan dan logistik perang yang diperlukan, segala puji bagi Allah. Ada pula yang diberi rizqi dengan kesadaran dan semangat perang membara, tetapi dibatasi oleh Allah rizqi sarana pendukungnya, hanya punya senjata terbatas tanpa basis wilayah dan dukungan masyarakat serta logistik perang yang diperlukan.
Melancarkan jihad di medan yang terbatas seperti yang disifati pada kategori kedua menghajatkan bekal ruhiyah-nafsiyah lebih. Pada yang pertama, jika suatu kelompok mujahidin terpukul mundur dalam suatu medan, mereka masih punya kesempatan mundur melakukan manuver menggabungkan diri dengan kelompok yang lain untuk melanjutkan peperangan. Sedang bagi mujahid yang berperang di medan yang tak memiliki dukungan yang sempurna seperti yang pertama; tak ada basis wilayah, tak ada pasok senjata, amunisi dan logistik yang dijamin kelanjutannya, jalur yang ada mudah diblokade musuh,...perlindungan terakhir mereka adalah senjatanya.
Jika perang telah pecah, tak ada pilihan bagi mereka untuk mundur, mereka harus berperang hingga Allah memenangkan mereka atas musuhnya atau mereka gugur dalam pertempuran. Bagi mereka, istilah mundur harus dihapus dari kamus. Perlindungan paling kuat bagi mereka adalah Allah, kemudian tabungan akumulasi 'amal shalihnya, kemudian senjatanya. Jika mereka menyerahkan senjata itu kepada musuh, atau menunjukkan dimana mereka menyimpan senjatanya, kemudian berharap musuh akan berlaku baik kepada mereka hanya karena mereka sudah tidak menyandang senjata, maka sungguh mereka terjatuh kepada syubuhat syaithan.
Tindakan itu berarti melepaskan diri dari perlindungan yang lebih kuat untuk mencari perlindungan yang lebih lemah. Begitu seorang mujahid atau sekelompok mujahid memutuskan untuk melancarkan perang, maka bagi mereka yang berada pada waqi' yang kedua harus berfikir 'azimah agar tidak terjerembab kedalam hazimah. Allah berfirman:
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. (Al Anfal 8 :16).
Dapatkah dibayangkan sekelompok mujahidin menyandang silah, kemudian mereka meletakkan senjata mereka, menyimpannya, kemudian meminta perlindungan dari saudaranya yang tidak bersenjata untuk menghadapi musuhnya yang bersenjata? Hanya jalan berfikir yang telah diliputi hazimah yang dapat menerima.
Semoga Allah menghindarkan para mujahid di jalan-Nya dari menjadi bahan ejekan musuh-musuh-Nya.
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ, وَغَلَبَةِ الْعَدُوِّ, وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ (رَوَاهُ النَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari belitan hutang, dikalahkan oleh musuh dan menjadi tertawaan musuh. [an-Nasa`iy dan dishahihkan al-Hakim].
Shourche: An-Najah[.]Net