Yang Mampu Menegakkan Islam Adalah Orang-orang Yang Bertekad Baja
Oleh: Syaikh Abû Mus‘ab Al-Zarqawi ~Sesungguhnya agama ini tidak akan tegak kecuali di atas pundak para perwira yang memiliki tekad baja. Ia tidak akan pernah tegak di atas pundak orang-orang yang biasa hidup ringan dan bermewah-mewah. Tidak, sungguh Islam tidak akan tegak di atas pundak orang-orang seperti ini.
Agama yang besar tidak akan tegak kecuali di atas pundak orang-orang besar pula. Tanggung jawab besar yang tidak sanggup dipikul langit dan bumi, tidak mungkin diemban oleh selain orang yang pantas mengembannya.
Wahai merpati, kalau kamu menangis karena anak kecilmu
Lantas di manakah pemirsa kesedihan-kesedihan
Manakah yang layak menitikkan air mata, mataku atau matamu?
Orang yang mengaku tidak diterima pengakuannya tanpa bukti…
Lantas di manakah pemirsa kesedihan-kesedihan
Manakah yang layak menitikkan air mata, mataku atau matamu?
Orang yang mengaku tidak diterima pengakuannya tanpa bukti…
Bagaimana mungkin Islam akan tegak dan kembali kepada kejayaan dan kemuliaannya seperti dulu, tanpa adanya tekad baja seperti tekad Abu Bakar untuk memerangi kaum murtad di zaman banyaknya orang murtad dulu? Ketika Abu Bakar, orang yang sudah tua, peka perasaannya dan mudah menangis itu, bersumpah menyatakan tekad terbesarnya, “Demi Alloh, aku benar-benar akan perangi siapa yang memisahkan antara sholat dan zakat. Sesungguh-nya zakat adalah hak harta. Demi Alloh, seandainya mereka menolak kepadaku untuk membayar satu ikatan binatang yang dulu mereka bayarkan kepada Rosululloh –‘alaihis sholatu was salam—pasti akan kuperangi mereka karenanya.”
Bagaimana mungkin Islam akan tegak tanpa adanya tekad seperti tekad Anas bin Nadhr, yang mengatakan: “Kalau Alloh menghadir-kanku dalam perang melawan orang-orang musyrik, Alloh pasti akan melihat apa yang akan kuperbuat.”
Akhirnya ia hadir dalam perang Uhud, lalu ia berperang, sampai ketika mati di jasadnya ditemukan 80 luka lebih, mulai dari tikaman dan tebasan pedang.
Adalah Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam selalu berdoa kepada robbnya:
(اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فيِ اْلأَمْرِ وَاْلعَزِيِمَةَ عَلىَ الرُّشْدِ)
“Ya Alloh, aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam urusan apapun dan tekad kuat di atas kelurusan.”
Sungguh, sebuah tekad yang tinggi benar-benar bisa mendidih dalam hati seperti mendidihnya air dalam periuk. Tekad seperti ini benar-benar mendorong pemiliknya untuk melakukan perkara-perkara besar setiap pagi dan sore, sehingga ia bisa menjadi orang yang disebutkan dalam perkataan Imam Syafi‘i Rahimahullôh, “Istirahat bagi ‘para lelaki’ adalah kelalaian.”
Inilah shahabat bernama ‘Abdullôh bin Jahsy, ia pernah menjauh sedikit di samping Sa‘ad bin Abi Waqos sebelum pecah perang Uhud; keduanya sepakat untuk bergantian memanjatkan doa dan saling mengamini. Maka doa yang dipanjatkan ‘Abdullôh bin Jahsy adalah:
“Ya Alloh, berilah aku rezeki berupa seorang lelaki yang keras amarahnya, besar kekuatannya, yang aku berperang dengannya dan dia berperang denganku, kemudian ia membunuhku dan memotong hidung dan telingaku, sehingga ketika aku berjumpa dengan-Mu kelak, ya Alloh, Engkau bertanya: Hai ‘Abdullôh, karena apa hidung dan telingamu terpotong? Maka aku menjawab: Karena-Mu dan karena Rosul-Mu. Lalu Engkau berfirman: Kamu benar.”
Betapa agung dan indah doa ini, sungguh itulah jiwa yang menjual segalanya untuk robbnya, ketika itulah kepahitan berubah menjadi kemanisan, sungguh itu tidak terjadi selain dari orang yang telah merasakan manisnya jalan ini dan merasakan kelezatannya. Ia tidak lagi mempedulikan apa pun selain keridhoan robb-nya, ia tidak lagi peduli selain bagaimana bisa berjumpa Alloh dalam keadaan Dia ridho dan terbunuh di jalan-Nya.
Siapakah di antara kita yang hendak meniru tekad-tekad baja seperti ini?
Siapakah di antara kita yang hendak meniru tekad Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan Al-‘Izz bin Abdissalam? Mereka membawa panji jihad fi sabilillah, kuat di hadapan musuh-musuh Alloh. Sementara sekarang ini, para ulama justru meninggalkan medan tempur, mereka mundur dari memegang tampuk kepemimpinan kafilah jihad ini, mereka merasa berat untuk mengorbankan nyawa karena Alloh. Belum cukup seperti itu, ditambah lagi mereka masih meneriaki mujahidin dan mengalamatkan berbagai tuduhan negatif kepada mereka, engkau tidak dengar suara mereka selain seruan untuk melawan mujahidin semua itu dilakukan dengan alasan sebagai alat politik dan mencapai kesopanan.
Aku sendiri tidak tahu, kapan mereka akan meninggalkan “fikih kekalahan sebelum perang”, dan pemahaman takut dan pengecut itu.
Sumber: Washôya li `l-Mujâhidîn
Edisi Indonesia: Kumpulan Nasehat Para Ulama Untuk Mujahidin
Penerjemah: Ahmad Ilham Al-Kandari
Publikasi: AL-QAEDOON GROUP Kelompok Simpatisan dan Pendukung Mujahidin